Ketika Kredensial Dipersoalkan: Pelajaran Kontroversi Ijazah untuk Pendidikan

Senin, 26 Mei 2025 07:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Arah Politik Presiden Jokowi
Iklan

Kontroversi ijazah buka mata soal budaya kredensial; pendidikan perlu geser fokus dari ijazah ke kompetensi nyata.

Kontroversi seputar tuduhan pemalsuan ijazah terhadap Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah memicu diskusi luas di masyarakat. Isu ini bukan sekadar soal politik atau administratif, melainkan mencerminkan persoalan yang lebih mendalam: ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap kredensial formal dan bagaimana sistem pendidikan menyikapi hal itu.

Kredensialisme dan Budaya Ijazah

Kredensialisme—penekanan berlebihan pada gelar dan ijazah sebagai penanda nilai seseorang—telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia. Seperti yang dijelaskan sosiolog Pierre Bourdieu dalam Distinction (1979), ijazah adalah bentuk "modal budaya" yang menentukan akses terhadap berbagai posisi sosial dan ekonomi. Ketika keaslian ijazah dipertanyakan, yang dipertaruhkan bukan hanya individu, tetapi legitimasi seluruh sistem pendidikan yang memproduksinya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2023 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas sebesar 4,80%, dan lulusan SMA mencapai 8,57%. Ini menunjukkan ketidaksesuaian antara kualifikasi akademik formal dengan kebutuhan nyata pasar kerja.Sementara itu, banyak perusahaan di Indonesia masih menggunakan ijazah sebagai syarat administratif dalam rekrutmen, meskipun pekerjaan yang ditawarkan tidak selalu menuntut kompetensi akademik yang tinggi. Hal ini menggambarkan jurang antara sistem pendidikan dan realitas kebutuhan dunia kerja.

Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Arief Rachman, tokoh pendidikan nasional, "Kredensialisme telah menciptakan orientasi yang keliru dalam sistem pendidikan kita. Masyarakat mengejar ijazah sebagai tujuan akhir, bukan sebagai proses pengembangan kapasitas diri."

Kontroversi Ijazah dan Pergeseran Paradigma

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kasus tuduhan terhadap ijazah Presiden Jokowi menjadi simbol dari bagaimana kredensial bisa digunakan sebagai senjata politik untuk meragukan legitimasi kepemimpinan. Namun menariknya, persepsi masyarakat tampaknya mulai bergeser.

Survei Katadata Insight Center (2023) mengungkap bahwa generasi muda menilai rekam jejak, visi dan misi, serta kompetensi sebagai faktor utama dalam memilih pemimpin. Ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari kredensialisme menuju penilaian berbasis substansi, walau belum sepenuhnya menjadi arus utama. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai menyadari pentingnya membedakan antara kualifikasi formal dan kemampuan aktual.

Makna Pendidikan yang Terdistorsi

Sebagaimana dikemukakan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan seharusnya membebaskan manusia, bukan membelenggu dengan formalitas. Namun dalam praktiknya, tekanan sosial untuk 'memiliki' ijazah sering mengalahkan tujuan pendidikan itu sendiri.

Laporan media dan pengamat menunjukkan tren pemalsuan dokumen akademik yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ini memperlihatkan betapa besar tekanan untuk meraih kredensial formal meskipun dengan cara yang tidak sah.

Menata Ulang Sistem Pendidikan

Isu ini semestinya menjadi momentum untuk mereformasi sistem pendidikan kita, dari sistem berbasis dokumen menuju pendekatan berbasis kompetensi. Laporan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) menyebut pentingnya memperluas adopsi sistem rekrutmen berbasis kompetensi—yang saat ini masih terbatas di sebagian kecil sektor industri.

Beberapa langkah strategis yang dapat diambil:
Recognition of Prior Learning (RPL) : Implementasi sistem ini di Indonesia masih terbatas. Perlu didorong agar keterampilan non-formal juga mendapat pengakuan resmi.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) : KKNI dirancang untuk menjembatani pendidikan dan dunia kerja. Penyelarasan kurikulum dengan standar KKNI perlu diperluas.
Digitalisasi Kredensial : Upaya pilot digitalisasi ijazah oleh Kemendikbudristek menunjukkan potensi besar dalam mencegah pemalsuan dokumen akademik.

Perubahan Paradigma: dari Ijazah Menuju Kompetensi

Forum Rektor Indonesia dalam berbagai kesempatan menegaskan pentingnya perubahan paradigma pendidikan dari orientasi 'memiliki ijazah' ke 'memiliki kompetensi.' Perubahan ini tak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi perlu sinergi antara lembaga pendidikan, industri, media, dan masyarakat.

Ki Hadjar Dewantara pernah menyatakan bahwa tujuan pendidikan sejati adalah 'memerdekakan manusia'. Maka, sistem pendidikan yang sehat bukanlah yang sekadar menghasilkan ijazah, tetapi yang mampu melahirkan individu yang bernalar, bermoral, dan berdaya saing.

Kredensial yang paling berharga bukan yang dicetak di atas kertas, tetapi yang terwujud melalui kompetensi, integritas, dan kontribusi nyata bagi masyarakat. Kontroversi ijazah ini harus menjadi peringatan bagi kita semua: bahwa yang kita butuhkan adalah sistem pendidikan yang lebih menghargai substansi dibanding simbol, dan lebih peduli pada kualitas manusia dibanding gelarnya.

Referensi

  • Badan Pusat Statistik. (2023). Survei Angkatan Kerja Nasional.
  • Katadata Insight Center. (2023). Survei Preferensi Pemilih Muda.
  • Paulo Freire. (1970). Pedagogy of the Oppressed .
  • Pierre Bourdieu. (1979). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste .

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler